Pernah mengunjungi sentra grosir jam tangan di kawasan Senen Jaya, Jakarta Pusat? Ternyata, bisnis jam tangan yang kebanyakan diimpor dari China ini, memang menjanjikan keuntungan yang menggigit. Dalam sehari mereka bisa menjual jam tangan sampai 100 lusin.
"Kita itu mainnya lusinan Mba, enggak main eceran. Penjualannya dalam sehari ya enggak pasti tergantung ramainya pasar, tetapi biasanya ya sekira 100 lusin lah sehari," ungkap Suherman ketika ditemui okezone di toko jam tangan Purnama, kawasan Senen, Jakarta belum lama ini.
Di toko Purnama, Suherman tak cuma menjual jam tangan beraneka model dan warna. Ia juga menjual berbagai aksesoris jam tangan seperti batu jam dan berbagai pelat jam tangan. Untuk menyediakan semua barang dagangannya ini, ia mengaku tidak pernah kesulitan karena barang-barang ini diimpor dari negeri Tirai Bambu, China.
"Semuanya dari China ya. Itu cara dapet (dagangannya) gampang, itu ada sales yang datang ke sini nawarin barang, dia penengahnya ya istilahnya," lanjut dia.
Berbisnis jam tangan seperti ini, menurutnya mendatangkan banyak keuntungan. Meskipun dia agak enggan bicara blak-blakan berapa omzet dan margin keuntungan yang didapatkannya, dia tak menampik bahwa sekali berbelanja, Suherman bisa menghabiskan uangnya sampai Rp1 miliar.
"Untungnya enggak mesti lah, di bawah 25 persen kok kalau kita jual grosiran per lusinnya. Kalau belanja barang ya enggak pasti juga, bisa sampai Rp500 juta sampai satu miliar rupiah," ceritanya lagi.
Sekali belanja, ia bisa menyimpan barang dagangannya ini untuk stok sampai tiga atau empat bulan ke depan. Suherman juga mengaku, bahwa pembelinya berasal dari berbagai daerah. Bahkan, rekannya di toko Prima Baru, Robert mengaku ia beberapa kali pernah melayani pembeli dari negara-negara Eropa seperti Belanda dan Jerman.
"Pernah itu, mereka datang ke sini, belanja banyak, katanya buat oleh-oleh, lucu ya?" senyumnya.
Pasca ASEAN-China termasuk Indonesia menandatangani ASEAN China Free Trade Area (ACFTA), barang-barang impor khususnya dari China memang mengalir deras ke pasaran Indonesia dan disinyalir menyebabkan kerugian yang besar bagi pelaku bisnis khususnya UKM di Indonesia. Hal ini dikarenakan ongkos produksi dinilai lebih mahal ketimbang mengimpor barang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai total impor bulanan Indonesia mencapai angka tertinggi pada Juni 2011 lalu sebesar USD15,08 miliar atau naik 28,26 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Negara yang banyak memasok barang nonmigas selama Juni adalah China dengan nilai impor USD 2,3 miliar, Jepang USD 1,58 miliar dolar dan Thailand USD906,9 juta.
BPS juga mencatat, pasokan barang impor nonmigas selama semester tahun ini sebagian besar berasal dari China (18,73 persen), Jepang (13,45 persen) dan Thailand (8,06 persen).
0 komentar:
Posting Komentar